Selasa, 01 Januari 2013

BENARKAH MUI PROVOKATOR INTOLERANSI UMAT BERAGAMA DI INDONESIA ?

Beberapa hari ini, umat beragama di Indonesia untuk kesekian kalinya dibenturkan lagi dengan sebuah fatwa dari MUI yang sebetulnya sudah cukup lama ada dan selama puluhan tahun tidak bermasalah bagi kerukunan umat beragama.

Berawal dari pemberitaan Tempo.Co Kamis 20 Desember 2012 pada pukul 06.26 WIB yang mengangkat judul berita : “MUI: Umat Islam Tidak Usah Ucapkan Selamat Natal“http://www.tempo.co/read/news/2012/1...-Selamat-Natal)

Disusul kemudian pada siang harinya (13.23 WIB) berita di media yang sama bertajuk “ JK Abaikan Fatwa MUI Soal Ucapan Selamat Natal”.http://www.tempo.co/read/news/2012/1...-Selamat-Natal

Pada pukul 14.38 muncul lagi berita senada berjudul “Jokowi Tak Mau Komentari Fatwa MUI Soal Natal.”http://www.tempo.co/read/news/2012/1...UI-Soal-Natal.

Dan diakhiri pada pukul 15.49 dengan sebuah berita berjudul “Selamat Natal Haram ? Gus Sholah : Saya Rasa Tidak”http://www.tempo.co/read/news/2012/1...aya-Rasa-Tidak


Kontan, pemberitaan yang lantas disebar ke mana-mana oleh pengguna internet ini menimbulkan reaksi beragam dari berbagai kalangan. Mulai dari tulisan bernada sindiran halus di dunia maya, sampai desakan tegas di dunia nyata dari aktivis GMNI Cabang Menado yg meminta agar Majelis Ulama Indonesia dibubarkan karena dianggap memprovokasi serta merusak kerukunan umat beragama.http://beritamanado.com/berita-utama...omment-page-1/

Reaksi yang sekilas nampak wajar dan manusiawi. Terlebih “fatwa” itu disampaikan bertepatan dengan saat umat nasrani akan merayakan hari besarnya. Kesannya MUI seperti menantang dan mencari gara-gara di tengah kebahagiaan umat Nasrani. Tidak salah kalau umat Nasrani dan juga sebagian umat Islam yang merasa dirinya moderat mengecam habis-habisan “fatwa” itu dan menuduh MUI sebagai provokator pemecah belah umat.

Tapi benarkah provokatornya adalah para alim ulama yang berada di Majelis Ulama Indonesia, ataukah jangan-jangan ada yang sengaja memancing di air keruh ?

Nampaknya kita perlu jeli dan berhati-hati sebelum melontarkan tuduhan jahat dan keji terhadap para ulama di MUI ini.

Kalau anda teliti dengan pemberitaan di Tempo.Co tentang ‘fatwa” itu, pasti akan dengan mudah menemukan kejanggalan dan kebohongan nyata, yang entah disengaja atau tidak, akan menggiring opini masyarakat pada kesimpulan seolah-olah MUI-lah biang pemecah belah dan penebar intoleransi umat beragama di Indonesia.

Padahal sesungguhnya si pembuat berita itulah yang tidak jujur dan menyembunyikan fakta ! Penulis berita itulah provokator yang sesungguhnya !

Mari kita kupas satu persatu.

Perhatikan berita pertama yang berjudul “MUI: Umat Islam Tidak Usah Ucapkan Selamat Natal“.Dari judulnya saja sudah nampak adanya kejanggalan. Tempo.Co adalah media massa sekuler, bukan media massa yang dikhusukan untuk umat Islam saja. Tidak ada urgensinya bagi Tempo.Co menyampaikan nasehat KH Ma’aruf Amin di media sekularnya yang juga dibaca umat lain. Berita itu sebenarnya lebih tepat untuk konsumsi intern umat Islam. Rasanya tidak mungkin kalau si wartawan tidak tahu bahwa statementnya akan beresiko mengundang polemik berbau SARA. Kesimpulannya, judul itu terkesan sengaja diblow up untuk menggiring emosi pembaca yang nantinya akan berujung kepada tuduhan terhadap MUI sbg penyebab intoleransi umat beragama.

Yang kedua, ada ketidakjujuran si wartawan mengenai konteks berita yang sebenarnya. Dengan membawa2 nama MUI di judul berita dikesankan seolah himbauan untuk tidak mengucapkan selamat Natal itu adalah sebuah fatwa resmi lembaga MUI. Padahal jelas sekali statement itu adalah sikap dan keyakinan pribadi KH Ma’aruf Amin sebagai seorang ulama, bukan fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Mungkin anda menyangkal dengan menunjukkan bukti foto yang ada di berita itu. Di foto yang menyertai berita nampak jelas ada semacam konfrensi pers yang dihadiri oleh Ketua MUI KH. Maruf Amin (tengah) didampingi Anggota Tim Auditor LPPOM MUI Lukman Hakim (kanan) dan Sekretaris MUI Drs. H.M Ichwan Sam. Saya yakin sebagian besar pembaca akan menyimpulkan seperti itu.

Tapi taukah anda, bahwa foto itu sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan berita “fatwa” larangan mengucapkan selamat Natal ? Foto itu diambil di waktu dan acara yang berbeda. Pada tanggal 3 Juni 2012 foto yang sama sudah dipergunakan oleh Tempo.Co ketika mengangkat berita tentang Penyatuan Zona Waktu. (http://www.tempo.co/read/news/2012/06/03/173407922/MUI-Penyatuan-Zona-Waktu-Tak-Akan-Picu-Masalah) Begitu pula pada tanggal 19 September 2012, saat Tempo.Co memberitakan tentang MUI yang mengaku mendukung Foke-Nara. Foto yang dipakai juga sama persis dengan berita “fatwa” ucapan selamat Natal.http://www.eramuslim.com/berita/nasi...m#.UNXz-qyR60I

Terlepas itu sebagai bentuk kesengajaan atau bukan, tidak salah kalau pembaca yang jeli akan menilai bahwa ada upaya tidak jujur yang dilakukan Tempo.Co untuk menggiring pembaca kepada kesimpulan yang diharapkan oleh media tersebut. Siapapun akan mengambil kesimpulan bahwa ”fatwa” tersebut disampaikan dalam sebuah acara resmi yang dihadiri petinggi MUI. Padahal pada kenyataannya, foto itu tidak ada hubungannya dengan isi berita, sementara si wartawan juga tidak memberi informasi sama sekali apakah statement KH Ma’aruf Amin disampaikan dalam sebuah wawancara formal yang bersifat kelembagaan atau hanya sebuah jawaban personal dari obrolan santai antara wartawan dengan Ketua MUI bidang fatwa, yang lantas dijadikan berita yang menuai hujatan kepada MUI.

Ketidakjujuran ketiga. Sampai detik ini tidak ada satupun fatwa dari MUI yang menyebutkan adanya larangan terhadap umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani ! Yang ada dalam fatwa MUI tahun 1981 adalah fatwa tentang HARAMNYA UMAT ISLAM MENGIKUTI UPACARA NATAL BERSAMA (PERAYAAN IBADAH NATAL) dan ANJURAN untuk tidak mengikuti kegiatan2 Natal ! Sedangkan pernyataan KH Maruf Amin yang dijadikan judul berita kontroversional itu adalah pendapat pribadi beliau sebagai ulama, dan bukannya fatwa lembaga MUI. Silakan cek fatwa MUI di link berikut ini.http://media.isnet.org/antar/etc/NatalMUI1981.html

Lalu di bagian manakah fatwa MUI yang dianggap memecah belah umat dan menciptakan permusuhan antar umat beragama yang dituduhkan oleh mereka yang ingin membubarkan MUI ?

Siapa sesungguhnya yang menyebar fitnah dan kebohongan untuk menjatuhkan para alim ulama di negeri ini ? Siapa sebenarnya yang ingin memperkeruh kerukunan umat beragama di Indonesia ?

Fatwa itu telah dikeluarkan MUI sejak tahun 1981 di masa kepemimpinan ulama besar Indonesia yang sekaligus Pahlawan Nasional Indonesia yaitu Prof Dr Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Buya Hamka. Berarti kalau dihitung sejak pertama lahir, fatwa ini sudah ada sejak 31 tahun yang lalu !

Lalu mengapa fatwa yang sama sekali tidak berpengaruh apa2 bagi kegiatan ibadah umat Nasrani, termasuk hubungan baik umat Islam terhadap umat lain, tiba-tiba dipermasalahkan lagi belakangan ini ? Yang lebih keji, tuduhannya adalah sebagai penyebab timbulnya permusuhan dan intoleransi umat beragama. Ada apa ini ? Siapa yang bermain di air keruh ?


Bukankah ini urusan intern umat Islam, di mana salah satu peran para ulama adalah mengingatkan umat Islam agar tidak salah dalam menyikapi arti toleransi ? Karena pada kenyataannya tidak sedikit umat Islam yang masih bingung dengan batasan mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam urusan peribadatan dengan umat lain. Apalagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam terkenal sangat toleran ketika menjelang perayaan Natal. Bisa kita saksikan nuansa Natal ada di mana2. Banyak perkantoran dan pusat perbelanjaan mewajibkan karyawannya yang mayoritas beragama islam untuk ikut menggunakan atribut2 Natal. Termasuk menghias tempat kerjanya dengan atribut perayaan umat Nasrani ini.

Jadi sekali lagi, tidak ada sama sekali fatwa MUI yang menyebutkan bahwa mengucapkan selamat Natal dilarang bagi umat Islam. Yang termuat di fatwa itu adalah hukum haramnya umat Islam mengikuti upacara natal bersama dan kegiatan-kegiatan Natal, karena ini sudah masuk ranah ibadah.

BERSAMBUNG DI BAWAH

Melanjutkan tulisan saya sebelumnya mengenai benarkah MUI provokator penyebab intoleransi umat beragama di Indonesia.https://www.facebook.com/notes/zulki...51382847166974

Keempat. Kali ini lebih nyata lagi kebohongan yang kita temui dari tulisan Tempo.Co. Masih di berita yang sama ““MUI: Umat Islam Tidak Usah Ucapkan Selamat Natal“http://www.tempo.co/read/news/2012/1...-Selamat-Natalpada paragraph ke-3 ada tulisan : BANYAK tokoh nasional minta fatwa ini diabaikan saja. Tulisan ini sengaja dibuatkan link menuju ke berita yang mestinya berisi tentang siapa saja tokoh2 nasional yang dikatakan banyak jumlahnya itu, yang minta fatwa ini diabaikan.

Ketika alamat link ini diklik, maka yang tertera adalahhttp://www.tempo.co/read/news/2012/1...-Selamat-Natal. Link ini menuju ke berita lanjutan berjudul “JK Abaikan Fatwa MUI Soal Ucapan Selamat Natal”. Setelah berita itu dibaca secara keseluruhan, ternyata tidak ada sama sekali nama tokoh selain satu nama yaitu Jusuf Kalla yang diberitakan mengabaikan fatwa MUI. Padahal di link berita sebelumnya jelas2 tertulis BANYAK Tokoh Nasional Minta Fatwa Ini Diabaikan.

Sebuah kebohongan yang sangat nampak kasat mata dan tidak sepatutnya dilakukan media dengan nama sebesar Tempo ! Ini benar-benar kebohongan public ! Apa motifnya ? Mengapa sampai perlu berbohong ? Itu yang perlu dikritisi dan dipertanyakan.

Kelima. Masih di berita yang sama mengenai JK yang mengabaikan fatwa MUI. Lagi-lagi pembuat berita menggunakan gaya yang sama, berusaha menggiring pembacanya berkesimpulan sesuai dengan yang diharapkan oleh penulis berita.

Apa yang diharapkan oleh si penulis berita ?

Kesan.

Kesan seolah-olah JK sengaja tidak peduli alias mengabaikan imbauan (kali ini ditulis imbauan, bukan fatwa) dari Majelis Ulama Indonesia. Padahal kalau kita jeli membacanya, kita akan menemukan tidak ada hubungannya apa yang dilakukan JK dengan kesengajaan mengabaikan himbauan MUI. Kebetulan saja JK mengucapkan Natal terhadap rakyat NTT, lalu dihubung2kan seolah JK sengaja mengabaikan himbauan itu.

Kelima. Di berita berikutnya berjudul “Jokowi Tak Mau Komentari Fatwa MUI Soal Natal.” lagi-lagi Tempo.Co seperti kurang kerjaan membenturkan “fatwa” MUI dengan sikap Jokowi di ruang public. Walaupun jawaban yang diberikan Jokowi nampak diplomatis, tapi siapapun akan bisa tergiring kesimpulannya seolah Jokowi, seperti juga JK, ikut mengabaikan “fatwa” MUI.

Keenam. Masih di berita yang sama, di kalimat dan paragraph terakhir, termuat tulisan “Tak semua sepakat dengan pernyataan MUI. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla memilih untuk mengedepankan toleransi beragama dengan tetap mengucapkan selamat Natal.”

Kalimat terakhir itu jelas-jelas berusaha menggiring otak pembacanya pada kesimpulan bahwa kesediaan umat Islam mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani .adalah bukti toleransi beragama yang baik. Seolah mereka yang tidak mau mengucapkan selamat Natal termasuk kategori orang yang tidak toleran alias tidak menghargai keyakinan umat lain.

Ini sebuah penyesatan opini yang berpotensi memecah belah dan bisa dikategorikan sebagai pemaksakan keyakinan umat satu ke umat yang lain. Padahal jelas tidak ada hubungannya antara tidak mengucapkan selamat Natal dengan tidak toleran. Justru kalau ada orang yang memaksakan kepercayaan dan keyakinan orang lain untuk mau mengucapkan selamat Natal misalnya, maka orang itulah sebenarnay yang tidak toleran.

Dan hari ini, Tempo.Co kembali melakukan ketidakjujuran pemberitaan. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya, ia memberitakan seolah2 MUI telah memfatwakan haram kepada umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Judul beritanya “MUI Haramnkan Ucapan Natal, Banser tetap Jaga Misa.”. Padahal fatwa itu tidak pernah ada !http://www.tempo.co/read/news/2012/1...etap-Jaga-Misa

Nampak jelas kesan provokasi berita. Terlihat ada upaya pembuat berita mengkait2kan fatwa MUI dengan aktivitas Banser menjaga prosesi Misa Natal.

Padahal ini tidak ada hubungannya sama sekali. Walaupun mungkin ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai apakah memang perlu Banser sampai ikut2an menjadi tenaga pengamanan dalam aktivitas peribadatan umat kristiani, bukankah sudah ada polisi ? Namun secara umum menjaga keamanan umat lain dalam menjalankan ibadahnya, adalah aktivitas biasa yang tidak bisa disamakan dengan mengikuti aktivitas peribadatan.

Lalu mengapa Tempo.Co membuat judul berita seperti itu ? Apa yang diinginkan Tempo.Co dari pembacanya setelah membaca berita2 yang tidak jujur dan cenderung memprovokasi itu ?

Jadi siapa yang sebenarnya menjadi biang perpecahan dan permusuhan antar umat beragama ?

Mengapa kesalahan malah ditimpakan kepada para ulama di Indonesia yang tergabung di dalam lembaga Majelis Ulama Indonesia ? Salah apa para ulama kita ?

Mengapa bukan mereka yang tidak jujur dan memancing2 perpecahan di kalangan umat beragama ini yang diprotes dan dihujat ?

Mengapa harus umat Islam lagi yang diadu dengan umat lain di Indonesia ?

Mengapa Tempo.Co tidak membuat berita yang menyejukkan, yang bisa menumbuhkan kedamaian dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia ?

Mengapa bangsa ini, termasuk diri kita, doyan banget menjadi provokator dan mengangkat hal-hal yang bisa membuat kontroversi pro dan kontra di masyarakat ?

Silakan dijawab sendiri menurut hati nurani kita masing-masing… kalau masih ada.

SUMBER

menurut pribadi ane.. sebolok2nya ulama (kecuali udah gila) gak mungkin ngemeng gitu lah.. dan ane baru nyadar.. bahwa musuh kita adalah MEDIA.. makanya jgn langsung percaya kl ada berita ini itu gan.. kita ceki2 dulu kebenerannya..



Spoilerfor TS:

JADI SUDAH JELAS SEBENARNYA MUSUH2 KITA GANS.. HATI-HATI..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar