Jumat, 28 Desember 2012

Indonesia dan Bubble Properti


Indonesia dan Bubble Properti 1

Perkembangan pasar properti di Indonesia dengan adanya investasi besar-besaran dari para pengembang dan kenaikan harga yang signifikan tampaknya menjadi salah satu isu hangat yang akhir-akhir diperbincangkan. Karena adanya fenomena itu, sebagian kalangan menilai potensi terjadinya bubble di dunia properti tanah air sudah cukup tinggi. Sementara sebagian lainnya merasa ketakutan itu tidak cukup beralasan. Isu bubble ini menjadi kian hangat karena para investor mancanegara turut mengamati dan menilai

Kenaikan harga properti di Indonesia itu, membuat khawatir Bank Indonesia (BI). Apalagi, kenaikan harga properti itu terjadi seiring dengan kenaikan nilai kucuran kredit perbankan ke sektor properti.
BI mencatat, Januari 2012, kredit pemilikan rumah (KPR) yang dicairkan perbankan mencapai Rp 188,228 triliun atau naik 33,1% dibandingkan Januari 2011 yang baru mencapai Rp 141,408 triliun. "Pertumbuhan KPR yang tinggi mendorong kenaikan harga properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble), sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank.
Dengan alasan itulah, BI merilis beleid anyar terkait dengan Loan To Value (LTV) untuk KPR dan untuk kredit kepemilikan apartemen (KPA). BI membatasi uang muka kredit KPR dari semula 20% menjadi 30%.
Selain faktor bubble properti, BI berusaha mengurangi risiko perbankan dari kredit macet KPR atau KPA. Tersulut faktor global Sektor properti pantas menjadi perhatian khusus bagi banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Apalagi, sektor properti itu sempat mendatangkan masalah bagi banyak negara, termasuk negara Adi Daya di Amerika Serikat (AS) yang sempat diguncang Subprime Mortgage tahun 2007 silam.

Disisi lain beberapa kalangan menilai ancaman bubble masih jauh dari hadapan perkembangan properi di Indonesia, mereka berpendapat bahwa sistem pembiayaan properti Indonesia berbeda dengan negara-negara lainnya. Pembiayaan sektor properti di Indonesia terkait dengan sektor keuangan. bubble properti properti itu terjadi bila ada orang yang membeli rumah lewat perbankan kemudian menjadikan surat hutang sebagai agunan sehingga bertingkat di banyak subsektor. Sedangkan di Indonesia demand end usernya sangat tinggi mencapai 13,6 juta. "Untuk dua sampai tiga tahun mendatang, permintaan tinggi pada pasar ini berasal dari enduser bukan spekulan

Menurut survei yang dilakukan oleh Cushman & Wakefield permintaan akan perumahan akan tumbuh lebih tinggi dari pasokan yang ada saat ini. Permintaan akan lebih meningkat dan berkelanjutan pada 2012 dan 2013. Berdasarkan data survey tersebut, enduser pada pasar perumahan untuk wilayah Jakarta dan Bekasi sebesar 75%, sementara investor hanya 25%. Di kawasan Tangerang, tingkat pengguna rumah sebesar 79%, dan investor sebesar 21%. Di wilayah Bogor dan Depok, 78% pembeli rumah adalahenduser, sementara sisanya sebanyak 22% adalah investor. Di Jakarta, 77% pembeli rumah adalah enduser, sementara 23% lainnya adalah investor. untuk pasar perkantoran dan kawasan industri tidak akan terjadi bubble lantaran tingkat permintaannya masih sangat tinggi. Sebaliknya, pasokan masih terbatas. Dari data itu juga diketahui, pembeli kantor dan lokasi industri adalah enduser, bukan spekulan.

Alasan lainnya Indonesia dapat terbebas dari ancaman bubble adalah adalah pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang terus meningkat sehingga memicu kuatnya daya beli. Sebelum negara-negara lain ambruk seperti sekarang, Indonesia sudah lebih dulu jatuh, kemudian bangkit. Belajar dari pengalaman, perbankan kita semakin canggih dengan melakukan beragam batasan dan pemeriksaan. Dengan kata lain setidaknya sampai 2013 sektor property di Indonesia masih tergolong aman dari ancaman bubble properti

SUMBER

investasi di bidang properti sangat menjanjikan gan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar